Translate

Thursday, June 21, 2012

Harga Waktu Ayah


            Andre, seorang anak yang setiap sore selalu menanti kepulangan ayahnya dari kantor untuk sekadar mengajaknya bermain. Suatu sore, sepulang kerja, sang ayah ditanya oleh Andre, “Ayah, ayah kerja di kantor dibayar berapa sih sebulan?”
            Sembari mengernyitkan dahi si ayah menjawab, “Ya, sekitar Rp2.500.000,00!”
            “Kalau sehari berarti berapa, yah?” seal Andre.
            Ayah mulai bingung, “Seratus ribu rupiah, ada apa sih? Kok tanya gaji segala!”
            Akan tetapi, Andre tetap bertanya lagi, “Kalau setengah hari berarti Rp50.000.00, dong yah?”
            “Iya, memangnya kenapa?” sahut ayah mulai jengkel.
            Si anak dengan mantap mengajukan permohonan, “Gini, yah! Tolong tambahin dong tabungan Andre, Rp5000,00 aja. Soalnya, Andre sudah punya tabungan sebesar Rp45.000,00. Rencananya, Andre mau membeli ayah setengah hari aja supaya kita bisa pergi memancing bersama!”
.....
            Satu hal yang sering menjadi kendala sebagai seorang ayah dalam membangun tatatanan keluarga yang tangguh dan harmonis adalah ‘si pencuri waktu’. Urusan kantor, bisnis sampingan, maupun kegemaran pribadi acapkali menjadi musuh dalam selimut yang secara tidak langsung merongrong kesempatan emas yang kita miliki untuk bercengkrama dengan anak. Dalih yang biasa dipergunakan oleh ‘si pencuri waktu’ sendiri adalah demi masa depan keluarga, loyalitas kerja, atau untuk membiarkan asap dapur tetap ngebul.
            Siapa ayah sebenarnya? Ketika masih kecil, kerapkali anak mengklaim bahwa pahlawan (hero) yang paling hebat adalah ayahnya sendiri. Sering pula anak melakukan proses identifikasi dengan ‘ke-pria-an’ yang diaktualisasikan sang ayah. Bunyi yang paling menggetarkan didengar oleh sang ayah, ketika untuk pertama kalinya si anak mengatakan, “Papa” atau “Ayah” atau “Abah” atau sebutan lain. Bahkan, seorang filsuf pernah mengatakan bahwa Tuhan yang dilihat si anak pada masa kecilnya adalah ayahnya sendiri. Ahli lain mengatakan, pohon dikenal melalui buahnya (like father like son). Setelah besar dan menginjak remaja atau pemuda, tidak jarang posisi ayah yang tadinya pahlawan beralih menjadi musuh.
            Investasi terindah yang dapat sang ayah berikan kepada putra-putrinya adalah waktu dan kualitas komunikasi yang proporsional bagi mereka. Zig Ziglar pernah berseloroh dalam suatu seminarnya, “Kehadiran dan percakapan Anda di hadapan anak-anakmu, lebih dari ribuan hadiah.” Kurangnya komunikasi di rumah akan membuat anak mencari informasi dari dunia luar rumah yang belum tentu benar adanya.
            Apa yang ditabur, itu pula yang dituai,” demikian pepatah lama masih terngiang jernih dalam ingatan kita. Ketika anak masih kecil, sebagai orangtua (ayah) jarang mendengarkan mereka. Setelah mereka besar, mereka pun akan jarang mendengarkan orangtuanya. Inilah awal mulanya terkenal istilah kenakalan remaja, yang secara tidak sadar dikontribusikan terlebih dahulu oleh kenakalan orangtuanya, yang telah berselingkuh dengan ‘si pencuri waktu’. Itulah sebabnya Spencer Johnson dalam bukunya The One Minute Father mengatakan cara terbaik agar anak-anak kita mendengarkan kita adalah dengan mendengarkan mereka. Bagi si anak, didengarkan merupakan bagian penting dalam implementasi cinta orangtuanya. Jika ditelusuri lebih lanjut, memang ada perbedaan besar antara dicintai dan merasa dicintai.
            Bill Havens, seorang pendayung hebat yang berskala internasional ketika dalam masa karantina untuk persiapan piala dunia mendayung menerima teleks yang mengatakan bahwa istrinya kemungkinan 2-3 hari lagi akan melahirkan. Setelah menerima kabar, Bill memilih dan memutuskan berangkat ke kota asalnya dan berpamitan untuk tidak mengikuti kejuaraan dunia yang telah dipersiapkan baginya. Ia memutuskan untuk menunggui istrinya yang akan melahirkan ketika itu. Pada 1952, Bill Havens mendapatkan telegram dari putranya, Frank, yang baru saja memenangkan medali emas dalam final kano 10.000 meter pada Olimpiade di Helsinki, Finlandia. Telegram tersebut berbunyi, “Ayah, terima kasih karena telah menunggui kelahiran saya. Saya akan pulang membawa medali emas yang seharusnya Ayah menangkan beberapa tahun yang lalu... Anakmu tersayang, Frank.
            Bekerja tidak akan memberikan investasi lebih permanen jika dibandingkan dengan memberikan waktu yang cukup untuk anak dan keluarga. Usia 55 tahun merupakan akhir dan perhentian berkarya, namun karya yang diinvestasikan dalam kenangan anak tidak akan berakhir hingga maut yang memisahkannya. Pilihan, tentu ada dalam diri masing-masing, namun Bill Havens dalam cerita di atas telah memilih yang terbaik. Sekaligus mengingatkan kita pada pernyataan Patrick M. Morley yang spektakuler, “Saya lebih memilih untuk tidak menjadi siapa-siapa, asalkan bisa menjadi seseorang yang berarti bagi anak-anak saya.
            Mungkin lagu yang pernah kita dengar sebelumnya dapat kita dengar lagi dari alam sana menjadi senandung terindah, ketika anak-anak yang kita kasihi menyanyikan lagu bagian reff-nya Rinto Harahap: “Untuk Ayah tercinta, aku ingin bernyanyi. Walau air mata di pipiku. Ayah dengarkanlah, aku ingin bertemu. Walau hanya dalam mimpi”.
Sumber cerita: buku “Setengah Isi Setengah Kosong”

No comments:

Post a Comment