Pagi yang cerah tiba-tiba berubah
mendung dan kelam, tatkala menerima kabar bahwa ibu dalam keadaan pingsan.
Selang sepuluh menit kemudian, bumi pun kembali terasa berguncang ketika dering
telepon berisi kabar bahwa ibu sudah pulang menghadap Sang Pencipta. Kepergian
mendadak tanpa pesan ini memang terasa sangat menyakitkan, seolah-olah semua
keluarga merasa “kecolongan”. Tanpa firasat dan tanpa pesan apa-apa, tepat
pukul 08.25 WIB beliau telah pergi dengan tenang ke haribaan Sang Khalik. Masih
tersimpan dan terkoleksi dengan baik surat-surat beliau yang tertulis dari
seberang dengan kata-kata yang khas, “Baik-baik kamu di sana, jangan lupa
berdoa dan jaga kesehatan!”
Ibu yang tidak mengerti mesin fax
atau SMS apalagi internet dan email, ternyata tidak menyurutkan kesukaannya
dalam membuat surat dan bercerita panjang lebar tentang situasi di pulau
seberang. Baginya, berkirim kabar melalui surat menyurat dan diantar ke kantor
pos merupakan kegiatan sehari-harinya di usia senja.
Kehadiran telepon tampaknya tidak
juga mengurangi frekuensi beliau untuk terus menerus berkirim surat. Ibu yang
tidak mulus dalam menjalani usia senjanya, ternyata banyak ditolong dengan
upayanya menulis surat secara kontinyu sehingga memungkinkan beliau untuk lebih
mudah mencurahkan apa yang menjadi bebannya.
Masih segar dalam ingatan tatkala
menapaki tangga kanak-kanak dahulu, ibu yang selalu memiliki waktu khusus bagi
anak-anaknya, mendoakan, bercerita, bahkan bermain bersama. Hal yang tidak pernah
dilupakan adalah ketika organisasi Pramuka di sekolah mengadakan Persami
(Perkemahan Sabtu Minggu). Kala itu ada kabar bahwa setiap anggota regu Pramuka
Penggalang harus berparade dengan menggunakan pakaian aneh. Dengan hanya meulis
di secarik kertas, minta tolong ke ibu menjahitkan baju dari potongan-potongan
bekas jahitan yang ada di rumah. Hanya dalam waktu semalam, baju tersebut sudah
jadi dan beliau antarkan ke sekolah. Rupanya, ibu tidak tidur karena
menjahitkan baju parade untuk anaknya. Sungguh masa kecil yang tidak pernah
dilupakan bersama ibunda tercinta. Ketika sang cucu hadir, si kecil pun sungguh
merasakan masa kecil yang penuh ceria bersama neneknya. Itulah sebabnya tidak
berlebihan jika Samuel dan Rini melantunkan lagu BUNDA dalam reff-nya: “Kata
mereka diriku selalu dimanja. Kata mereka diriku selalu ditimang. Oh Bunda ada
dan tiada dirimu. Kan selalu ada di dalam hatiku”
Setiap orang pasti memiliki cerita
dan kesan tersendiri terhadap ibunda tercintanya, terutama pengalaman-pengalaman
suka dan duka ketika menjalani hari-hari kehidupan. Dari kacamata spiritual,
kita dapat melihat bahwa doa seorang ibu ternyata memberikan dampak yang luar
biasa bagi perkembangan keluarga. Doa seorang ibu sangat berarti bagi suami dan
anak-anaknya.
Terkadang ibu tidak memiliki modal
dan kompetensi yang tinggi untuk bekerja seperti sang suami. Bahkan, tidak
jarang anak-anaknya lebih pintar dalam mengajari ibunya dalam beberapa hal.
Namun, yang tidak dapat dipungkiri lagi, setiap ibu pasti memiliki “modal dengkul” untuk berlutut berdoa dan
menopang kehidupan keluarga, anak-anak, serta pekerjaan suami. Sekalipun
seorang ibu sudah demikian hebat dalam kariernya, namun perannya dalam menopang
keluarga dan sebagai penolong tetap sangat dominan. Artis Karina dengan begitu
indah melantunkan kerinduan hatinya dalam lagu Ummi (ibu), “Ummi,
jiwa dan hidupku. Pemberi kebahagiaan dan harapan. Sekarang, juga di masa yang
akan datang, ...Ibu, ...Ibu!”. Demikian pula Nikita yang selalu
mengingat ibundanya dengan “dengkul” yang kuat dalam reff lagunya, “Di
doa ibuku, namaku disebut. Di doa ibu kudengar, ada namaku disebut!”
Seiring dengan perkembangan zaman,
peran ibu yang seharusnya begitu tinggi, kerapkali terusik. Ada banyak ibu yang
begitu mudah menyerahkan pola asuh anak-anaknya kepada pembantu (baby sitter).
Lebih mengerikan lagi, seorang ibu dengan mudah menghentikan kehidupan seorang
bayi – anak kandungnya sendiri – hanya untuk menutup aib atau tidak
mengharapkan kehadiran sang bayi. Bahkan, beberapa calon ibu tega menghentikan
pertumbuhan janin yang ada dalam kandungannya, hanya untuk kesenangan dan citra
dirinya.
Dengkul yang hancur karena menahan
beban ketika berlutut dan telinga yang panas karena banyak mendengar keluhan
anak-anak atau suaminya, jauh lebih indah daripada mulut yang terus menerus
membentak dan menyebarkan gosip.
Ada banyak cerita tentang ibu, dan
cerita-cerita tersebut menjadi tulisan bertinta emas yang penuh makna tatkala
kita tahu bagaimana harus memberi perhatian kepada mereka. Ibu mana pun di dunia
ini tidak akan pernah meminta kompensasi atas air susu (ASI) yang telah
diberikannya kepada kita. Dia pun tidak akan pernah menagih bayaran atas jam
kerja yang telah diberikan kepada anak-anaknya. Begitupun dengan perasaannya
yang sering berkorban demi anak-anak dan suami tercinta.
Oleh sebab itu, dengan memberi
perhatian dan kehangatan tentu akan semakin meningkatkan semangat hidup beliau.
Secarik kertas yang bertuliskan kabar tentang anak dan cucunya, ungkapan
kata-kata melalui telepon, SMS, maupun selembar kartu pos yang bergambar indah,
ternyata cukup memberi makna dan kebahagiaan mereka selaku seorang ibu. Ketika
ada kecukupan rezeki, mengirimkan buah tangan atau beberapa nilai rupiah, juga
dapat mendekatkan pulau-pulau maupun kota-kota yang jauh.
Di atas itu semua, memberi perhatian
dan peduli, di sinilah kuncinya. Selagi mereka masih hidup dan mungkin saat ini
sedang tidak serumah dengan kita, lakukanlah sesuatu untuk menyenangkan hati
mereka. Membuat kuburan ibu yang sangat indah atau bahkan membangun tugu
kehormatan untuk sang ibu yang sudah meninggal, tampaknya tidak terlalu penting
dibandingkan perhatian dan kepedulian yang kita berikan ketika mereka masih
hidup. Karena ketika sang ibunda sudah kembali ke pangkuan-Nya, tetap terbesit
penyesalan sekalipun kita telah berbuat banyak, apalagi jika tidak pernah
berbuat sama sekali. Namun, penyesalan selalu datang di akhir dan tidak mungkin
membalikkan jam pasir hanya untuk menutupi penyesalan tersebut.
Siapakah yang dapat menggantikan
peran dan kasih sayang ibu? Tidak ada! Ibu adalah ibu, dan satu adanya. Cerita
Malin Kundang (Sumatera Barat) dan Si Mardan (Batu Gantung di Sumatera Utara)
tampaknya cukup memberikan pembelajaran bagi kita untuk menghormati dan
menyayangi ibu. Rasanya kurang tepat jika suatu hari kelak, ketika kita
menghadap tahta Sang Khalik membawa gelar baru, yakni “Si Anak Durhaka”, karena
tidak pernah memberi perhatian dan kepedulian kepada ibu yang telah melahirkan
dan membesarkannya. Harta, surat, dan fasilitas yang telah diberikan kepada
ibu, tidak akan dibawa ke akhirat, namun hati yang penuh cinta kasih dan
perhatian kepada sang ibu, inilah yang menjadi catatan tersendiri dalam “Buku
Kehidupan” Sang Khalik.
Sahabat kita dari Maluku begitu
indah melantunkan lagu Sio Mama,
“...Sio mama...e. beta rindu mau
pulang...e. sio mama...e. mama su lia kurus lawang...e. beta bolong balas mama.
Mama pung cape sio dolo...e. sio tete manis...e. jaga beta pung mama...e.”
Jika kita sudah jauh merantau dan
jarang bertemu ibu, maka begitu ada waktu untuk pulang melihat ibu, pulanglah
atau aturlah jadwal untuk itu! Mereka menantikan kehadiran kita. Hati akan
semakin tersayat, ketika kita pulang hanya untuk melihat jasad ibu. Selamat
menikmati kebersamaan dengan ibu tercinta, sebelum terlambat.
Sumber cerita: buku ”Setengah Isi Setengah Kosong”
No comments:
Post a Comment